Yogyakarta, 12 Agustus 2015
“Those who cannot remember the past are condemned to repeat it”
- George Santayana, filsuf akhir abad 19 Spanyol-
Al kisah dulu ada seorang peternak sapi yang sangat
menghormati kepala negaranya. Peternak itu memasang di setiap sudut rumahnya foto-foto
kepala Negara pujaannya sebagai bentuk penghormatannya. Sampai kefanatikannya
itu di ekspresikan dengan cara membuat tapal sapi atas nama presdiennya untuk
menapali sapi-sapinya. Suatu hari dia menggiring sapi-sapinya ke sungai untuk
memandikannya. Di setiap sudut jalan semua orang memandangi nama yang menempel
di bokong sapi-sapinya, tak terkecuali. Begitupun ketika pulang, orang-orang
masih memandanginya. Keesokan harinya ada kabar mengejutkan datang dari
kediamaan sang peternak. Sebuah mayat mengambang di kumbangan kotoran sapi di belakang rumah, yang tak lain adalah
pemilik sapi-sapi itu. Kabar itu menyebar dengan cepat, hingga tak ada satu
orangpun yang luput.
Tulisan ini bukanlah cerpen tentang peternak sapi. Bukan pula
karangan semata, melainkan kejadian nyata di sebuah Negara satu komando. Negara
yang seperti tidak ada kekuasaan selain dari ucapan pemimpinnya. Melawan
berarti menantang. Ya, otoriter. Otoritarianisme ini masih di jalankan di
beberapa Negara di dunia, misalnya Korea Utara, Saudi Arabia, Iran, brunei dan
Kongo. Dengan otoritarianisme, kepala Negara dapat bertindak sesuai kehendak
hatinya menghukum dan mengadili seseorang, seperti yang pernah dilakukan
presiden Korea Utara saat ini yaitu Kim Jong Un yang telah mengeksekusi mati 15
orang termasuk pamannya sendiri. Meskipun demikian, Korea Utara bisa tegak berdiri di tengah Negara-negara maju yang
lain.
Indonesia sendiri pernah mengalami cerita kelam
otoritarianisme pada Orde lama, terlebih pada Orde Baru. Cerita ini sudah
menghiasi perjalanan pasca-kemerdekaan Indonesia sampai menjelang 70 tahun
kemerdekaan besok. Orde Baru yang di pimpin Soeharto pada waktu itu sangat
mempraktekkan otoritarianisme hingga semua orang tidak berani menentang apa
keinginannya. Barang siapa menentang, berarti berani mati. Pasal penghinaan
presiden menjadi senjata untuk melawan penentang, menjadikan masyarakat hanya
macan yang kehilangan taringnya. Dengan kata lain, pasal ini telah membunuh
demokrasi.
Di Indonesia, pasal penghinaan presiden itu pernah hilang
dan ditenggelamkan sebagai sejarah kelam oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun
2006 dengan alasan tidak mempunyai batasan yang jelas. Karena pasal tersebut
masyarakat hanya “macan ompong” yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun, kini pasal penghinaan itu masuk dalam RUU KHUP yang
akan di bahas DPR mendatang. Dengan pasal ini, presiden bisa saja berkehendak
sesuka hati dengan kata lain otoriter. Kekhawatiran ini sangat beralasan jika
benar RUU itu akan disahkan. Kekhwatiran tentang masa kelam Indonesia akan
kembali terulang. Jangakan pasal penghinaan, pasal pencemaran nama baik saja
sudah sangat sering diselewengkan.
Padahal, kritikan-kritikan yang dilakukan oleh masyarakat
untuk pemimpinnya seyogyanya dapat dijadikan sebagai bahan muahsabah diri atau instrospeksi diri. Faktanya, seorang pemimpin
sulit untuk mencari kesalahannya sendiri. Bahkan, amirul mukminin Sayyiduna
Umar Ibn Khattab pun sangat berterima kasih jika rakyatnya mengkritiknya jika
dalam kepemimpinannya rakyatnya merasa di dzalimi. Kritikan juga akan mengasah
diri pemimpin itu sendiri agar tahan banting.
Tetapi ada yang menarik dengan sejarah otoritarianisme di Indonesia.
Keotoriteran di masa lampau Indoensia pernah berjalan beriringan dengan
komunisme yang amat bertentangan dengan Ideologi bangsa sendiri.
ototitarianisme ini pun seperti langkah awal untuk menjadikan Negara ini
sebagai Negara komunis. Akankah perjalanan Indonesia dengan mengawali kembali
otoritarianisme merupakan langkah awal untuk mendaulatkan kembali komunisme? Semoga
saja tidak.
Namun sepertinya Indonesia lupa akan sejarah kelam yang
pernah menjatuhkan dirinya sendiri. Sejarah yang seharusnya menajdi bahan
menilai diri sendiri dan pengalaman untuk mengurus Negara kedepannya. Meminjam
istilah Bung Karno, “Jas merah” harus tetap di gantung dan terlihat, jangan
sampai di kandangkan dan hilang dari ingatan. Semoga pasal ini bukan kado 70th
Indonesia. Amiin. (MBS)
“jas merah mesti
diapaki, supaya tetap dilihat dan diingat”
“never leave history”
0 komentar:
Posting Komentar