Bukan
hanya lapar haus yang kami keluhkan, tetapi padatnya jadwal kegiatan pondok
dalam agenda pasan pondok ini juga
tak bisa kami pungkiri. Menyongsong kegiatan demi kegiatan, berjalan beriringan
dengan janji utopia kehidupan di akhirat kelak, surga, yang tetap menyulut
semangat kita untuk menyongsong janji Allah.
Seperti
biasa, gedung krim tiga lantai yang baru saja dibangun berlabel “subulussalam”
menjadi tempat kami mengais recehan rahmat Tuhan, setiap sore dan malam.
Namun
senyum sayu matahari di langit barat kali ini dihiasi oleh suara asing dari
dalam gedung. Tidak fasih namun cukup lancar. Seperti bicara bayi belajar
berbicara. Logatnya cukup asing. Dipandu oleh suara Abah pelan dan diperjelas.
“asyhadu an laa ilaha illallah, wa
asyhadu anna muhammadan rasulullah” katanya. 28 Agustus 2015, 15.21 WIB. Kenapa
orang mau masuk islam? Dia bilang “saya menemukan cahaya Ilahi ketika melihat
orang sholat dan saya bingung bagaimana patung di salib akan menolong”. Kami
bilang “alhamdulillah, dia telah menjadi saudara kita”. “pahami islam
pelan-pelan” kata Abah. “ajari dia, pahamkan, rangkul” pesan abah kami. Ramah.
Senyumnya menghias setiap langkah. Sapaan setiap berpapasan “assalamualaikum”
meneduhkan hati setiap insan, terucap dari bibir penuh ketulusan. Susah senang,
hidup bersama tanpa perhitungan. Sepertinya Ramadhan tahun ini memang berkah.
1 bulan setelah Ramadhan, senyum itu
tak lagi mengembang. Dia sering menghilang. Tak nampak dari sudut pandang.
Berjalan ke satu arah, sekitar 2 km dari rumah. Kemana dia melangkah? Tak kami
sangka tak kami duga, rumah salib berdiri kokoh di seberang. Tepatnya jl.
Mentimun satu arah ke rumah Pak Pri. Tak jelas. Sayup-sayup senyumnya
mengembang berdiri di parkiran Gerea Wetan di tengah jari-ari keroyok hujan.
Kami bilang “bah, dia terlihat bungah bersama rohaniawan di Gereja Wetan
seberang jalan”. Dua jam berselang, dia pulang menghadap abah minta belas
kasihan. “bah, saya rencananya mau pulang. Apakah saya boleh minta uang
perjalanan?” dia bilang “sebentar”. Jemari abah melungsup masuk ke dalam saku
mengambil smartphone dan bialng “halo, Polisi? Saya masih di pondok...”.
seketika itu Da belingsatan, muka merah padam, takut akan ancaman. Dia ambil
1000 langkah dari kediaman, tak berjejak. “kemana Andi? Kalau ketemu dia, ikat
dia. Jangan biarkan kabur!” perintah Abah. Seperti pasukan sedang perang, kami
mencari mata sipit hidung mancung dimana dia berdiam. Tak lama berselang,
“delok en rek! Ternyata selama iki...”. kami gelagapan, muka merah padam, tak
sempat beranjak sungut-sungut menantang. “asuuuuu!!!dadi kaet bien cino iku
ngapusi!!!”. Tas Palazzo ukurang sedang selama 2 bulan terkunci rapat di pook
kamar telah terbuka lebar. Tas itu koyak, seperti mulut biru pencuri terlakban
yang di buka secara paksa untuk mengakui dosa-dosanya. Kini tas itu berbicara
panjang. Memuntahkan isi memberikan jawaban. Berjejer buku-buku teologi
kristiani sekitar 500 halaman “janji Kristus terhadap hambaNya”; “cara-cara
mempengaruhi orang untuk masuk Kristen”; “cerita-cerita sukses missionaris abad
20”; “iman, hati dan Kristus”. Tak kami temukan satu pun wajah islam dalam
jejeran buku-buku itu.
Masihkah kita harus mempermasalahkan
keberagamaan? Islam, kristen, hindu, budha, konghucu. sulitkah untuk mengucapkan
selamat pagi Romo, assalamualaikum ustad? Masih adakah redaksi “kamu harus”
dizaman ini? Benarkah lebih sulit mengulurkan tangan daripada mengepalkannya? Haruskah
kita membodohkan diri dengan tipuan? Sudah putuskah urat malu diri ini?
Yogyakarta, ora mood nulis,
19 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar