Jumat, 18 Desember 2015

0 Memang Lebih Sulit Mengulurkan Tangan daripada Mengepalkannya





Bukan hanya lapar haus yang kami keluhkan, tetapi padatnya jadwal kegiatan pondok dalam agenda pasan pondok ini juga tak bisa kami pungkiri. Menyongsong kegiatan demi kegiatan, berjalan beriringan dengan janji utopia kehidupan di akhirat kelak, surga, yang tetap menyulut semangat kita untuk menyongsong janji Allah. 

Seperti biasa, gedung krim tiga lantai yang baru saja dibangun berlabel “subulussalam” menjadi tempat kami mengais recehan rahmat Tuhan, setiap sore dan malam.

Namun senyum sayu matahari di langit barat kali ini dihiasi oleh suara asing dari dalam gedung. Tidak fasih namun cukup lancar. Seperti bicara bayi belajar berbicara. Logatnya cukup asing. Dipandu oleh suara Abah pelan dan diperjelas. 

“asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadan rasulullah” katanya. 28 Agustus 2015, 15.21 WIB. Kenapa orang mau masuk islam? Dia bilang “saya menemukan cahaya Ilahi ketika melihat orang sholat dan saya bingung bagaimana patung di salib akan menolong”. Kami bilang “alhamdulillah, dia telah menjadi saudara kita”. “pahami islam pelan-pelan” kata Abah. “ajari dia, pahamkan, rangkul” pesan abah kami. Ramah. Senyumnya menghias setiap langkah. Sapaan setiap berpapasan “assalamualaikum” meneduhkan hati setiap insan, terucap dari bibir penuh ketulusan. Susah senang, hidup bersama tanpa perhitungan. Sepertinya Ramadhan tahun ini memang berkah. 

1 bulan setelah Ramadhan, senyum itu tak lagi mengembang. Dia sering menghilang. Tak nampak dari sudut pandang. Berjalan ke satu arah, sekitar 2 km dari rumah. Kemana dia melangkah? Tak kami sangka tak kami duga, rumah salib berdiri kokoh di seberang. Tepatnya jl. Mentimun satu arah ke rumah Pak Pri. Tak jelas. Sayup-sayup senyumnya mengembang berdiri di parkiran Gerea Wetan di tengah jari-ari keroyok hujan. Kami bilang “bah, dia terlihat bungah bersama rohaniawan di Gereja Wetan seberang jalan”. Dua jam berselang, dia pulang menghadap abah minta belas kasihan. “bah, saya rencananya mau pulang. Apakah saya boleh minta uang perjalanan?” dia bilang “sebentar”. Jemari abah melungsup masuk ke dalam saku mengambil smartphone dan bialng “halo, Polisi? Saya masih di pondok...”. seketika itu Da belingsatan, muka merah padam, takut akan ancaman. Dia ambil 1000 langkah dari kediaman, tak berjejak. “kemana Andi? Kalau ketemu dia, ikat dia. Jangan biarkan kabur!” perintah Abah. Seperti pasukan sedang perang, kami mencari mata sipit hidung mancung dimana dia berdiam. Tak lama berselang, “delok en rek! Ternyata selama iki...”. kami gelagapan, muka merah padam, tak sempat beranjak sungut-sungut menantang. “asuuuuu!!!dadi kaet bien cino iku ngapusi!!!”. Tas Palazzo ukurang sedang selama 2 bulan terkunci rapat di pook kamar telah terbuka lebar. Tas itu koyak, seperti mulut biru pencuri terlakban yang di buka secara paksa untuk mengakui dosa-dosanya. Kini tas itu berbicara panjang. Memuntahkan isi memberikan jawaban. Berjejer buku-buku teologi kristiani sekitar 500 halaman “janji Kristus terhadap hambaNya”; “cara-cara mempengaruhi orang untuk masuk Kristen”; “cerita-cerita sukses missionaris abad 20”; “iman, hati dan Kristus”. Tak kami temukan satu pun wajah islam dalam jejeran buku-buku itu.

Masihkah kita harus mempermasalahkan keberagamaan? Islam, kristen, hindu, budha, konghucu. sulitkah untuk mengucapkan selamat pagi Romo, assalamualaikum ustad? Masih adakah redaksi “kamu harus” dizaman ini? Benarkah lebih sulit mengulurkan tangan daripada mengepalkannya? Haruskah kita membodohkan diri dengan tipuan? Sudah putuskah urat malu diri ini?

Yogyakarta, ora mood nulis, 19 Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar

 

sederhana Copyright © 2011 - |- Template created by Badrus Soleh - |- Powered by Blogger Templates