Hari ini hampir semua orang yang mengikuti Pemilihan Presiden Amerika Serikat di buat, sekali lagi, terhenyak dan tekejut. Kejutan pertama ketika keseriusan dirinya menjadi bacapres Partai Republik yang awalnya dianggap hanya mencari sensasi. Kejutan yang kedua yaitu dia, Donald Trump, bernar-benar terpilih menjadi presiden ke-45 AS meskipun berbagai isu negatif tentang dirinya mencuat sampai survei sebelum pemilihan menunjukkan Hillary Clinton diatas angin. Mungkin jantung “muslim kagetan” yang biasanya berteriak-teriak ketika al-quran dinistakan atau tulisan arab dipakaian Agnez Monica kali ini tidak akan berdegup kencang dengan terpilihnya Trump menjadi Presiden Amerika Serikat dengan semua janji kampanyenya, bisa jadi karena tidak paham atau tidak peduli karena Amerika adalah negara kafir. Sebaliknya, muncul kekhawatiran dari dunia internasional yang langsung memberitakan terpilihnya Trump dan bagaimana kelangsungan negara mereka kedepannya, mengingat Amerika masih menjadi negara super power (adi daya) dan pasti memberikan pengaruh kepada negara-negara lain dalam skala internasional. Bahkan respon tersebut tidak hanya menimpa makhluk hidup, pun indeks pergerakan saham dunia menyambut terpilihnya Trump dengan mengalami kemerosotan dibeberapa negara maju. Mungkin dalam hal ini Tiongkok seperti kebakaran jenggot karena janji Trump salah satunya akan menaikkan pajak barang impor dari Tiongkok.
Terlepas
cerita terpilihnya Donald Trump yang telah lama diramalkan oleh kartun the Simpson
itu, salah satu hal yang membuat saya tertarik dengan Trump adalah karakter
pribadinya yang kontroversional. Sebagai calon presiden, karakter kasar,
berwatak bigot (rencana menolak muslim masuk AS dan membangun tembok perbatasan
dengan Meksiko), bersifat punitive (rencana akan membunuh keluarga para
teroris dan meyakini penyiksaan
tersangka itu efektif) justru menjadi daya tarik untuk melawan kalangan
atas yang untouchable meskipun pada akhirnya bisa jadi karakter yang
seperti itu akan menimbulkan masalah-masalah kenegaraan. Seperti yang biasa
terjadi, penilain orang dari luar saja tidak cukup untuk memahami gerak-gerik
perpolitikan. Jika Indonesia punya Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang semacam
dengan sumpah serapahnya ketika rapat, kali ini Amerika mempunyai Trump dengan
jabatan lebih tinggi dan mungkin bisa lebih kasar daripada Ahok. (Bayangkan
jika penduduk Amerika rata-rata muslim, berapa banyak fatwa MUA (Majlis Ulama
Amerika) bertebaran dan demonstrasi dilakukan). Artinya, sesuatu yang dahulu
dinilai orang buruk dari luar tidak menjamin dapat mengurangi potensi untuk
menjadi pemimpin idaman di kemudian hari.
Hari ini tepat
10 november dan di Indonesia dikenal
sebagai hari pahlawan. Saya akan membuka kembali ingatan terhadap salah
satu pahlawan, panutan, ulama sekaligus mantan presiden yang dianggap
kontroversial pada zamannya, yaitu KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sosok
ini memang tidak bisa dilepaskan dari predikat kontroversialnya, selain unik,
jalan pikiran yang sulit ditebak, suka humor hingga ulama yang faqih. Sebelum
menjadi presiden, ada cerita Gus Dur sudah “mengejutkan” masyarakat dengan
fatwa-fatwanya, misalnya ketika melangsungkan lawatan ke PCNU Wonosobo, Jawa
Tengah. Disana beliau mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo,
Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen Temanggung dan Magelang. Bersama para kiai,
Gus Dur menceritakan kondisi perpolitikan setelah dilengserkannya Soeharto.
Singkat cerita, kondisi politik Indonesia yang masih belum stabil dan reformasi
yang berlangsung tanpa dipersiapkan dengan matang dapat menimbulkan perpecahan
di tubuh NKRI. Untuk itu Gus Dur meminta restu para kiai-kiai untuk mencalonkan
diri menjadi presiden ke-4 RI dengan niat untuk menjaga agar Indonesia tetap
utuh tidak digerogoti oleh benalu-benalu liar. Tentu keputusan ini mengejutkan
banyak pihak, terutama semua kalangan yang datang pada waktu itu.
Selain itu, selama
menjadi seorang presiden, banyak kebijakan kontroversial yang menuai kritik
dari berbagai kalangan. Jika dikalkulasi, sekitar 6 kebijakan terkenal yang
dinilai sangat tidak rasional dan dianggap mengada-mengada. Misalnya sebulan
setelah menjabat, Gus Dur langsung membubarkan Departemen Sosial dan Departemen
Penerangan yang sudah ada sejak era sebelumnya dan mengatakan bahwa DPR tak
ubahnya taman kanak-kanak. Yang kedua adalah silaturahim Gus Dur kepada
Soeharto tepat ketika Keluarga Cendana menjadi sorotan publik dan menggagas
bahwa Soeharto harus diadili, hartanya disita lalu Soeharto dimaafkan.
Kontroversi yang lain adalah usul agar TAP MPR tentang PKI dihapuskan, meskipun
kandas dalam rapat Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja (PAH II BP) MPR karena
seluruh fraksi MPR menolak usulan tersebut. Kemudian memecat Jusuf Kalla dan
Laksamana Sukardi yang dianggap terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur
tidak pernah memberikan bukti yang kuat. Kelima yaitu mengubah suasana Istana
Negara yang dinilai angker dengan cara menerima tamu dari berbagai kalangan,
mulai dari masyarakat umum, pejabat, hingga kuai NU yang hanya memakai sarung
dan sandal. Kebijakan terakhir dan sangat kontroversial yaitu ancaman
mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen yang berisi pembubaran DPR/MPR dan
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu
satu tahun dan membekukan partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap
Sidang Istimewa MPR. Atau kontroversi lain yang terletak bukan pada pemkiran
dan kebijakannya misalnya terpilihnya Gus Dur menjadi presiden walaupun dengan
keterbatasan beliau. Tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan mengapa beliau
bisa terpilih padahal ada calon lain yang (maaf) dari segi fisik saja lebih
sempurna.
Namun
keterbatasan itu bukanlah alasan. Teori lama yang penuh makna “al-insanu
hayawanun naathiq”, menjadi dalil bahwa ukuran kesempurnaan manusia bukanlah
terletak pada aksiden yang menempel pada diri setiap insan, melainkan esensi
yang niscaya ada dan tidak bisa dihilangkan, yaitu pemikiran. Peran Gus Dur
sudah banyak sekali terlebih dalam usaha beliau untuk membela kaum yang
tertindas, dengan alasan logis dan canda praktis dapat mengubah pandangan
sekelompok masyarakat amarah menjadi masyarakat ramah. Misalkan pembelaan Gus
Dur kepada Ahmad Dhani yang disudutkan setelah konser dengan menginjak lafadz kaligrafi
“Allah”, atau dakwah perdamaian atas pertikaian Inul dengan Rhoma Irama,
perlindungan terhadap agama minor dimasyarakat dan masih banyak lagi. Nilai
toleransi yang beliau sebarkan melintasi batas SARA, gender dan pangkat, tidak
mengenal siapa, dimana dan kapan. Nilai tersebut terkumpul pada 9 nilai utama
Gus Dur yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan,
kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan dan kearifan lokal. Nilai ini menjadi
dasar bagaimana manusia bertindak dan merupakan preseden aksiomatis, karya Gus
Dur yang akan abadi sepanjang zaman.
Dibidang lain,
saya bisa mengatakan Gus Dur juga seora poskolonialis. Tawaran Wang Ning
tentang penolakan kolonial (poskolonialis) dengan dialog budaya salah satunya
telah dilakukan oleh Gus Dur. Dialog budaya yang beliau luncurkan setiap
pertemuan, diutarakan dengan humor pintar, terutama dengan lelucon-lelucon khas
ke-NU-an yang setiap pertemuan lokal sampai internasional digunakan untuk
mencairkan suasana. Hikmah-hikmah yang terbangun dalam setiap jokes beliau,
secara tidak langsung membangun kesadaran ketimuran yang memang belum diketahui
oleh banyak sarjanawan barat (orientalis). Di bidang sastra, Gus Dur juga aktif
mengikuti perkembangan sastra dan buktinya menjadi Ketua Dewan Kesenian
Jakarta. Begitulah tawaran dialog budaya Wang Ning sebagai bentuk poskolonialis
dengan mempelajari kesusastraan, perbandingan budaya dan kritik sastra. Saya
yakin Gus Dur melakukannya dan beliau yang memang dikenal sebagai kutu buku.
Sudah banyak
buku yang mengulas dari salah satu sisi tentang karakter pribadi hingga
pemikiran Gus Dur dan buku-buku yang menolak semua predikat yang disematkan
kepada Gus Dur. Tentu 2 sosok kontroversial diatas (Donald Trump dan Gus Dur)
memiliki perbedaan yang sangat mendasar dan tidak bisa disamakan. Karakter mereka
yang “think out of the box” akan
dikenang selamanya, Donald Trump, miliyarder sukses dengan karakter “ababil”nya
dan kini menjadi pemimpin negara adidaya dunia. Hanya menunggu waktu, karena
bagi saya dia adalah “teks” yang sulit untuk dibaca. Disisi lain, Gus Dur yang
telah mendidik bangsa dengan tulus, Guru Bangsa, Bapak semua agama dan simbol
kedamaian (kini saya rasakan setelah kepergian beliau banyak terjadi kerusuhan)
yang harus kita pelajari nilai-nilainya untuk membendung kemunculan Trump yang
lain. Mengingat fatwa terbaru MUI bahwa Trump lebih parah daripada Bush. Sekian.
Yogyakarta, 10 November 2016
0 komentar:
Posting Komentar