Selasa, 22 November 2016

0 Gus Dur dan Fatwa Terbaru MUI














          Hari ini hampir semua orang yang mengikuti Pemilihan Presiden Amerika Serikat di buat, sekali lagi, terhenyak dan tekejut. Kejutan pertama ketika keseriusan dirinya menjadi bacapres Partai Republik yang awalnya dianggap hanya mencari sensasi. Kejutan yang kedua yaitu dia, Donald Trump, bernar-benar terpilih menjadi presiden ke-45 AS meskipun berbagai isu negatif tentang dirinya mencuat sampai survei sebelum pemilihan menunjukkan Hillary Clinton diatas angin. Mungkin jantung “muslim kagetan” yang biasanya berteriak-teriak ketika al-quran dinistakan atau tulisan arab dipakaian Agnez Monica kali ini tidak akan berdegup kencang dengan terpilihnya Trump menjadi Presiden Amerika Serikat dengan semua janji kampanyenya, bisa jadi karena tidak paham atau tidak peduli karena Amerika adalah negara kafir. Sebaliknya, muncul kekhawatiran dari dunia internasional yang langsung memberitakan terpilihnya Trump dan bagaimana kelangsungan negara mereka kedepannya, mengingat Amerika masih menjadi negara super power  (adi daya) dan pasti memberikan pengaruh kepada negara-negara lain dalam skala internasional. Bahkan respon tersebut tidak hanya menimpa makhluk hidup, pun indeks pergerakan saham dunia menyambut terpilihnya Trump dengan mengalami kemerosotan dibeberapa negara maju. Mungkin dalam hal ini Tiongkok seperti kebakaran jenggot karena janji Trump salah satunya akan menaikkan pajak barang impor dari Tiongkok.

Terlepas cerita terpilihnya Donald Trump yang telah lama diramalkan oleh kartun the Simpson itu, salah satu hal yang membuat saya tertarik dengan Trump adalah karakter pribadinya yang kontroversional. Sebagai calon presiden, karakter kasar, berwatak bigot (rencana menolak muslim masuk AS dan membangun tembok perbatasan dengan Meksiko), bersifat punitive (rencana akan membunuh keluarga para teroris dan meyakini penyiksaan  tersangka itu efektif) justru menjadi daya tarik untuk melawan kalangan atas yang untouchable meskipun pada akhirnya bisa jadi karakter yang seperti itu akan menimbulkan masalah-masalah kenegaraan. Seperti yang biasa terjadi, penilain orang dari luar saja tidak cukup untuk memahami gerak-gerik perpolitikan. Jika Indonesia punya Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang semacam dengan sumpah serapahnya ketika rapat, kali ini Amerika mempunyai Trump dengan jabatan lebih tinggi dan mungkin bisa lebih kasar daripada Ahok. (Bayangkan jika penduduk Amerika rata-rata muslim, berapa banyak fatwa MUA (Majlis Ulama Amerika) bertebaran dan demonstrasi dilakukan). Artinya, sesuatu yang dahulu dinilai orang buruk dari luar tidak menjamin dapat mengurangi potensi untuk menjadi pemimpin idaman di kemudian hari.

Hari ini tepat 10 november dan di Indonesia dikenal  sebagai hari pahlawan. Saya akan membuka kembali ingatan terhadap salah satu pahlawan, panutan, ulama sekaligus mantan presiden yang dianggap kontroversial pada zamannya, yaitu KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sosok ini memang tidak bisa dilepaskan dari predikat kontroversialnya, selain unik, jalan pikiran yang sulit ditebak, suka humor hingga ulama yang faqih. Sebelum menjadi presiden, ada cerita Gus Dur sudah “mengejutkan” masyarakat dengan fatwa-fatwanya, misalnya ketika melangsungkan lawatan ke PCNU Wonosobo, Jawa Tengah. Disana beliau mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen Temanggung dan Magelang. Bersama para kiai, Gus Dur menceritakan kondisi perpolitikan setelah dilengserkannya Soeharto. Singkat cerita, kondisi politik Indonesia yang masih belum stabil dan reformasi yang berlangsung tanpa dipersiapkan dengan matang dapat menimbulkan perpecahan di tubuh NKRI. Untuk itu Gus Dur meminta restu para kiai-kiai untuk mencalonkan diri menjadi presiden ke-4 RI dengan niat untuk menjaga agar Indonesia tetap utuh tidak digerogoti oleh benalu-benalu liar. Tentu keputusan ini mengejutkan banyak pihak, terutama semua kalangan yang datang pada waktu itu. 

Selain itu, selama menjadi seorang presiden, banyak kebijakan kontroversial yang menuai kritik dari berbagai kalangan. Jika dikalkulasi, sekitar 6 kebijakan terkenal yang dinilai sangat tidak rasional dan dianggap mengada-mengada. Misalnya sebulan setelah menjabat, Gus Dur langsung membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan yang sudah ada sejak era sebelumnya dan mengatakan bahwa DPR tak ubahnya taman kanak-kanak. Yang kedua adalah silaturahim Gus Dur kepada Soeharto tepat ketika Keluarga Cendana menjadi sorotan publik dan menggagas bahwa Soeharto harus diadili, hartanya disita lalu Soeharto dimaafkan. Kontroversi yang lain adalah usul agar TAP MPR tentang PKI dihapuskan, meskipun kandas dalam rapat Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja (PAH II BP) MPR karena seluruh fraksi MPR menolak usulan tersebut. Kemudian memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi yang dianggap terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat. Kelima yaitu mengubah suasana Istana Negara yang dinilai angker dengan cara menerima tamu dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum, pejabat, hingga kuai NU yang hanya memakai sarung dan sandal. Kebijakan terakhir dan sangat kontroversial yaitu ancaman mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen yang berisi pembubaran DPR/MPR dan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun dan membekukan partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Atau kontroversi lain yang terletak bukan pada pemkiran dan kebijakannya misalnya terpilihnya Gus Dur menjadi presiden walaupun dengan keterbatasan beliau. Tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan mengapa beliau bisa terpilih padahal ada calon lain yang (maaf) dari segi fisik saja lebih sempurna. 

Namun keterbatasan itu bukanlah alasan. Teori lama yang penuh makna “al-insanu hayawanun naathiq”, menjadi dalil bahwa ukuran kesempurnaan manusia bukanlah terletak pada aksiden yang menempel pada diri setiap insan, melainkan esensi yang niscaya ada dan tidak bisa dihilangkan, yaitu pemikiran. Peran Gus Dur sudah banyak sekali terlebih dalam usaha beliau untuk membela kaum yang tertindas, dengan alasan logis dan canda praktis dapat mengubah pandangan sekelompok masyarakat amarah menjadi masyarakat ramah. Misalkan pembelaan Gus Dur kepada Ahmad Dhani yang disudutkan setelah konser dengan menginjak lafadz kaligrafi “Allah”, atau dakwah perdamaian atas pertikaian Inul dengan Rhoma Irama, perlindungan terhadap agama minor dimasyarakat dan masih banyak lagi. Nilai toleransi yang beliau sebarkan melintasi batas SARA, gender dan pangkat, tidak mengenal siapa, dimana dan kapan. Nilai tersebut terkumpul pada 9 nilai utama Gus Dur yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan dan kearifan lokal. Nilai ini menjadi dasar bagaimana manusia bertindak dan merupakan preseden aksiomatis, karya Gus Dur yang akan abadi sepanjang zaman.

Dibidang lain, saya bisa mengatakan Gus Dur juga seora poskolonialis. Tawaran Wang Ning tentang penolakan kolonial (poskolonialis) dengan dialog budaya salah satunya telah dilakukan oleh Gus Dur. Dialog budaya yang beliau luncurkan setiap pertemuan, diutarakan dengan humor pintar, terutama dengan lelucon-lelucon khas ke-NU-an yang setiap pertemuan lokal sampai internasional digunakan untuk mencairkan suasana. Hikmah-hikmah yang terbangun dalam setiap jokes beliau, secara tidak langsung membangun kesadaran ketimuran yang memang belum diketahui oleh banyak sarjanawan barat (orientalis). Di bidang sastra, Gus Dur juga aktif mengikuti perkembangan sastra dan buktinya menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Begitulah tawaran dialog budaya Wang Ning sebagai bentuk poskolonialis dengan mempelajari kesusastraan, perbandingan budaya dan kritik sastra. Saya yakin Gus Dur melakukannya dan beliau yang memang dikenal sebagai kutu buku.

Sudah banyak buku yang mengulas dari salah satu sisi tentang karakter pribadi hingga pemikiran Gus Dur dan buku-buku yang menolak semua predikat yang disematkan kepada Gus Dur. Tentu 2 sosok kontroversial diatas (Donald Trump dan Gus Dur) memiliki perbedaan yang sangat mendasar dan tidak bisa disamakan. Karakter mereka yang “think out of the box”  akan dikenang selamanya, Donald Trump, miliyarder sukses dengan karakter “ababil”nya dan kini menjadi pemimpin negara adidaya dunia. Hanya menunggu waktu, karena bagi saya dia adalah “teks” yang sulit untuk dibaca. Disisi lain, Gus Dur yang telah mendidik bangsa dengan tulus, Guru Bangsa, Bapak semua agama dan simbol kedamaian (kini saya rasakan setelah kepergian beliau banyak terjadi kerusuhan) yang harus kita pelajari nilai-nilainya untuk membendung kemunculan Trump yang lain. Mengingat fatwa terbaru MUI bahwa Trump lebih parah daripada Bush. Sekian. 


 Yogyakarta, 10 November 2016

0 komentar:

Posting Komentar

 

sederhana Copyright © 2011 - |- Template created by Badrus Soleh - |- Powered by Blogger Templates