Saya bukan feminin, bukan pula pengamat gender. Tapi saat
ini saya sedang belajar mendayung perahu di atas lautan pemikiran. Saya harus
mengenali arus dan ombak agar terus bisa menjalankan perahu. Kadang harus kuat
ketika melawan arus yang berlawanan arah, kadang bersyukur dengan arus yang
searah. Misalnya saat ini, saya harus berusaha keras membuka layar untuk sebuah
arus lawan arah yang sedang melanda. Ya, wanita.
Wanita sudah menjadi topik pembahasan tersendiri di kalangan filsuf sejak tahun 60-an. Para penggelut tentang kewanitaan biasa dipanggil sebagai feminin, ingat bukan feminim. Kata ini sudah mengalami pergeseran makna di kalangan umum, syukur tidak sampai pada tataran akademisi. Saya masih mengembangkan semua pemikiran yang ada, termasuk tentang kewanitaan. Tapi sebelumnya saya tidak tertarik sama sekali dengan kajian ini. Sampai saya melihat wanita tetap wanita. Lumayan bagus. Dengan kritik “wacana” akhirnya saya berani menulisnya.
Feminisme di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak abad
19 di Indonesia, yang dipelopori oleh Ibu kita Kartini. Tokoh feminisme ulung
yang hadir dengan tulisan-tulisan monumentalnya. Kartini bukan hanya gadis
pingitan yang pasrah disekap di balik dinding tebal kotak penjara, tapi juga
pejuang gadis yang melawan arus besar penjajahan. Lembaran-lembaran surat cuma
segelintir saksi bisu perjuangan keras Kartini. Kini adanya namanya tertulis
disetiap 21 April.
Agak kedepan, ada sebuah gerakan baru dari kalangan wanita
yang beruntun terjadi tahun 1928-1942. Kongres kewanitaan yang mereka lakukan
menunjukkan sebuah gerakan yang signifikan menumbuhkan semangat emansipasi bagi
wanita. Mereka semua adalah feminin, disamping meneriakkan “Merdeka!!!!” juga
berteriak tanpa suara “kami juga bisa membawa cangkul, kami juga bisa memegang
palu, kami juga bisa mengarahkan clurit!”. gerakan ini menandai semangat
feminisme di Indonesia sudah ada sejak sebelum negara ini merdeka.
Sekarang. 5 wanita dengan profesi dan masalah masing-masing.
Wanita pramugari itu berjuang untuk
biaya haji ibunya. Wanita hakim itu melewati masalah dilematis dengan pria
tampan, guru privatnya, suami orang. Wanita pembuat kue itu mencoba berlari
dari kenyataan pahitnya kehidupan cinta. Wanita penulis itu berjuang mencari
makna “rasa” untuk dirangkai dalam sajak-sajak tulisannya. Wanita model itu
berjuang untuk kesembuhan adiknya. Fisik mereka rapuh, tapi mereka tangguh. Mereka
mampu berteriak tanpa suara. Mereka mampu berjalan tanpa kaki. Mereka mampu
memeluk walau tak punya tangan. Film ini menyiratkan semangat juang feminin
modern.
Praktek semangat feminisme mungkin seperti itu yang kini
banyak dilakukan. Kini mereka tak harus lagi “menjual diri” hanya untuk
menuliskan surat, atau bergerilya untuk sampai ke tempat rapat. Kini cukup
dengan gerakan untuk tetap menjaga semangat bekerja dan kokoh dari godaan pemanjaan
kecanggihan teknologi modern. Menjaga moral, perilaku, harkat martabat. Menjaga
otak tetap berpikir, bukan hanya dipikirkan. Praktik-praktik semangat gerakan
feminisme modern abad ini, seperti penulis-penulis wanita, pemikir, dan
pekerja. untuk Kartini Mas Pram mengatakan “Barangsiapa tidak berani, dia tidak
akan menang: itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pembarani
memenangkan tiga perempat dunia!”
Yogyakarta, 6 Juni
2015
Greattt!!
BalasHapusPada dasarnya saya bingung membaca tulisan ini. Anda ingin mengagkat mazhab feminisme filsafat, atau kebangkitan wanita? hem. . .
BalasHapuspada dasarnya makna feminisme dan kebangkitan kewanitaan pada abad ini adalah sama
Hapus