Jumat, 05 Juni 2015

3 Sisi lain: Wanita-wanitaku




Saya bukan feminin, bukan pula pengamat gender. Tapi saat ini saya sedang belajar mendayung perahu di atas lautan pemikiran. Saya harus mengenali arus dan ombak agar terus bisa menjalankan perahu. Kadang harus kuat ketika melawan arus yang berlawanan arah, kadang bersyukur dengan arus yang searah. Misalnya saat ini, saya harus berusaha keras membuka layar untuk sebuah arus lawan arah yang sedang melanda. Ya, wanita.

 Wanita sudah menjadi topik pembahasan tersendiri di kalangan filsuf sejak tahun 60-an. Para penggelut tentang kewanitaan biasa dipanggil sebagai feminin, ingat bukan feminim. Kata ini sudah mengalami pergeseran makna di kalangan umum, syukur tidak sampai pada tataran akademisi. Saya masih mengembangkan semua pemikiran yang ada, termasuk tentang kewanitaan. Tapi sebelumnya saya tidak tertarik sama sekali dengan kajian ini. Sampai saya melihat wanita tetap wanita. Lumayan bagus. Dengan kritik “wacana” akhirnya saya berani menulisnya.

Feminisme di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak abad 19 di Indonesia, yang dipelopori oleh Ibu kita Kartini. Tokoh feminisme ulung yang hadir dengan tulisan-tulisan monumentalnya. Kartini bukan hanya gadis pingitan yang pasrah disekap di balik dinding tebal kotak penjara, tapi juga pejuang gadis yang melawan arus besar penjajahan. Lembaran-lembaran surat cuma segelintir saksi bisu perjuangan keras Kartini. Kini adanya namanya tertulis disetiap 21 April.

Agak kedepan, ada sebuah gerakan baru dari kalangan wanita yang beruntun terjadi tahun 1928-1942. Kongres kewanitaan yang mereka lakukan menunjukkan sebuah gerakan yang signifikan menumbuhkan semangat emansipasi bagi wanita. Mereka semua adalah feminin, disamping meneriakkan “Merdeka!!!!” juga berteriak tanpa suara “kami juga bisa membawa cangkul, kami juga bisa memegang palu, kami juga bisa mengarahkan clurit!”. gerakan ini menandai semangat feminisme di Indonesia sudah ada sejak sebelum negara ini merdeka.

Sekarang. 5 wanita dengan profesi dan masalah masing-masing. Wanita pramugari itu berjuang  untuk biaya haji ibunya. Wanita hakim itu melewati masalah dilematis dengan pria tampan, guru privatnya, suami orang. Wanita pembuat kue itu mencoba berlari dari kenyataan pahitnya kehidupan cinta. Wanita penulis itu berjuang mencari makna “rasa” untuk dirangkai dalam sajak-sajak tulisannya. Wanita model itu berjuang untuk kesembuhan adiknya. Fisik mereka rapuh, tapi mereka tangguh. Mereka mampu berteriak tanpa suara. Mereka mampu berjalan tanpa kaki. Mereka mampu memeluk walau tak punya tangan. Film ini menyiratkan semangat juang feminin modern.

Praktek semangat feminisme mungkin seperti itu yang kini banyak dilakukan. Kini mereka tak harus lagi “menjual diri” hanya untuk menuliskan surat, atau bergerilya untuk sampai ke tempat rapat. Kini cukup dengan gerakan untuk tetap menjaga semangat bekerja dan kokoh dari godaan pemanjaan kecanggihan teknologi modern. Menjaga moral, perilaku, harkat martabat. Menjaga otak tetap berpikir, bukan hanya dipikirkan. Praktik-praktik semangat gerakan feminisme modern abad ini, seperti penulis-penulis wanita, pemikir, dan pekerja. untuk Kartini Mas Pram mengatakan “Barangsiapa tidak berani, dia tidak akan menang: itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pembarani memenangkan tiga perempat dunia!”

Yogyakarta, 6 Juni 2015

3 komentar:

  1. Pada dasarnya saya bingung membaca tulisan ini. Anda ingin mengagkat mazhab feminisme filsafat, atau kebangkitan wanita? hem. . .

    BalasHapus
    Balasan
    1. pada dasarnya makna feminisme dan kebangkitan kewanitaan pada abad ini adalah sama

      Hapus

 

sederhana Copyright © 2011 - |- Template created by Badrus Soleh - |- Powered by Blogger Templates