http://imgkid.com |
Sesuatu yang tidak nampak dan tidak nyata dengan panca
indera adalah nihil, berarti kosong adalah tidak berarti dan tidak “ada”. Semua
yang disebut eksis berarti ada di depan mata dapat dilihat dengan panca indera.
Exist mendahului esensi, keberadaan mendahului esensi daripada adanya
sesautu itu. Misalkan keberadaan benda yaitu pena. Bagi kaum eksistensialis
pena itu disebut ada karena dia ada dan lebih dulu daripada esensinya. Tidak
begitu penting apa esensi selanjutnya dari pena itu. Bentuk pena yang panjang,
bertinta dan bermerk adalah eksistensi sebuah pena dalam kenyataan. Terlepas
esensi pena itu selanjutnya apakah digunakan untuk menulis atau mengganjal meja
atau mainan adalah urusan belakangan, karena esensi tersebut dipengaruhi oleh
eksistensi pena tersebut.
Dalam suatu kuliah Jean Paul Sartre, sebagai pakar
eksistensialisme, lebih dalam menjelaskan bahwa eksistensi manusia. Dia
menjelaskan eksistensi manusia yang lebih dalam dengan menyangkutkan sisi
humanisme didalamnya, bisa dikatakan dia dipengaruhi dengan sisi cogito Descartes
dan juga teori konstruksi sosial dari Marx. Keeksistensian manusia di dunia
ditentukan cogito-nya kemudian, dia ingin menjadi apa. Manusia hanya
bisa dilihat tingkat eksistensinya berdasarkan kontruksi sosial manusia, misalkan
perbedaan antara kaum cindekiawan dengan orang golongan nelayan dipesisir. Para
cindekiawan lebih dihormati keberadaannya berdasarkan konstruksi sosial yang
ada di masyarakat, beda dengan nelayan yang ada dipesisir yang hampir tidak
pernah didengarkan suaranya dimasyarakat. Namun kembali kepada konsep awal,
eksistensi manusia adalah lebih dulu daripada esensinya.
Dalam hemat saya, jika saya tarik dalam ranah keislaman
hanya manusia yang tidak tahu esensi dirinya eksis di dunia. Apakah dia hidup
hanya untuk being ataukah ada “tugas” atau tujuan tertentu yang tersemat
dalam keeksistensiannya. Misalkan firman Allah wa maa kholaqtul jinna wal
insa illa liya’budun. Dari sini dapat ada enimem bahwa penciptaan jin dan
manusia tidak lain untuk beribadah kepada Allah SWT. Ada juga, padangan kaum
eksistensialis bahwa manusia ada di dunia hanya untuk bekerja dan hidup mewah
di dunia. Esensi manusia hanya ditentukan kemudian dari subjektivnya sendiri,
apakah dia didunia untuk beribadah atau hanya untuk bekerja dan hidup mewah ada
akhirnya.
Oleh karena itu, seorang muslim, patutnya tidak berideologi
eksistensialisme. Seorang yang biasanya rasionalis dan nihilis akan
mengungkit-ungkit sesuatu yang tidak eksis fisiknya. Seorang yang
eksistensialis tidak akan percaya pada yang tidak beruwujud atau ghaib, bisa
saya katakan Tuhan. Begitu juga seorang Seyyed Hoessn Nasr juga mengatakan
bahwa teori eksistensialis barat dengan wujud Tuhan itu berbeda. Perbedaan ini
harus diperhatikan dengan saksama, karena jika seorang muslim mengikuti
pandangan eksistensialisme barat, bisa jadi dia tidak akan percaya pada Tuhan
yang ghaib. Seyyed Hoessn Nasr dalam premisnya mengatakan bahwa dalam
teori eksistensialisme barat, jika esensi suatu itu berubah maka eksistensi itu
juga berubah. Dan jika eksistensi itu berubah, maka aksidensi sesuatu itu juga
ikut berubah.
Dan ada perbedaan dalam islam, menurut Seyyed Hoessn Nasr
dalam teori wujud, jika esensi berubah maka eksistensi itu tidak akab berubah.
Kalau dalam bahasa ilmu fiqh, illat suatu hukum mempengaruhi perubahan hukum. Illat
saya umpamakan seperti esensi hukum, dan eksistensi seperti adanya hukum
itu. Seperti sifat Illat yang mempengaruhi timbulnya hukum, bukan hikmah
ayat. Esensi (illat) mempengaruhi eksistensi (hukum) sesuatu itu. Misalkan dalam ranah ketuhanan, tidak mungkin
eksistensi Allah dipertanyakan jika esensi-Nya berubah, dikarenakan esensi
Tuhan itu bergantung juga dengan sifat Tuhan itu. Misalkan sifat wahdatul
wujud Tuhan, yaitu Tuhan yang satu. Contoh yang lain adalah sifat Tuhan
yang tidak butuh dengan makhluknya. Sifat Tuhan inilah yang mengatarkan
perubahan esensi Tuhan tidaklah berarti merubah juga eksistensi Tuhan. Meskipun
manusia mengubah esensi Tuhan seperti misalnya Tuhan bukanlah sesembahan, hal
itu tidak berpengaruh pada eksistensi Tuhan. God still exist in re or in
intellecto.
Begitupun tulisan ini, tidaklah penting bagus atau tidak.
Tulisan ini tetap eksis meskipun esensi tulisan ini berubah. Begitulah saya
memandangnya.
Yogyakarta, 19 April 2015
urung tak woco mas,, sing penting absen disek yo..
BalasHapuskapan2 nek wes moco insyaAllah tak laporan maneh haha. .
Wes tak woco mas, ,
BalasHapusAsline materine yo simple nek menurutku, tapi lek nyampekne kok abot tenan eg. .
cara penyampaian filsafati mas, ya itulah jurusan saya. atau kosakata yang saya miliki kosakata filsafati, dan metode tulisan filsafat mas. otaknya mbulet-mbulet, hehe tp matursuwun mampir mas
BalasHapus