Minggu, 19 April 2015

3 Exist, Bukan Berarti Ada

http://imgkid.com


Sesuatu yang tidak nampak dan tidak nyata dengan panca indera adalah nihil, berarti kosong adalah tidak berarti dan tidak “ada”. Semua yang disebut eksis berarti ada di depan mata dapat dilihat dengan panca indera. Exist mendahului esensi, keberadaan mendahului esensi daripada adanya sesautu itu. Misalkan keberadaan benda yaitu pena. Bagi kaum eksistensialis pena itu disebut ada karena dia ada dan lebih dulu daripada esensinya. Tidak begitu penting apa esensi selanjutnya dari pena itu. Bentuk pena yang panjang, bertinta dan bermerk adalah eksistensi sebuah pena dalam kenyataan. Terlepas esensi pena itu selanjutnya apakah digunakan untuk menulis atau mengganjal meja atau mainan adalah urusan belakangan, karena esensi tersebut dipengaruhi oleh eksistensi pena tersebut.


Dalam suatu kuliah Jean Paul Sartre, sebagai pakar eksistensialisme, lebih dalam menjelaskan bahwa eksistensi manusia. Dia menjelaskan eksistensi manusia yang lebih dalam dengan menyangkutkan sisi humanisme didalamnya, bisa dikatakan dia dipengaruhi dengan sisi cogito Descartes dan juga teori konstruksi sosial dari Marx. Keeksistensian manusia di dunia ditentukan cogito-nya kemudian, dia ingin menjadi apa. Manusia hanya bisa dilihat tingkat eksistensinya berdasarkan kontruksi sosial manusia, misalkan perbedaan antara kaum cindekiawan dengan orang golongan nelayan dipesisir. Para cindekiawan lebih dihormati keberadaannya berdasarkan konstruksi sosial yang ada di masyarakat, beda dengan nelayan yang ada dipesisir yang hampir tidak pernah didengarkan suaranya dimasyarakat. Namun kembali kepada konsep awal, eksistensi manusia adalah lebih dulu daripada esensinya.
Dalam hemat saya, jika saya tarik dalam ranah keislaman hanya manusia yang tidak tahu esensi dirinya eksis di dunia. Apakah dia hidup hanya untuk being ataukah ada “tugas” atau tujuan tertentu yang tersemat dalam keeksistensiannya. Misalkan firman Allah wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun. Dari sini dapat ada enimem bahwa penciptaan jin dan manusia tidak lain untuk beribadah kepada Allah SWT. Ada juga, padangan kaum eksistensialis bahwa manusia ada di dunia hanya untuk bekerja dan hidup mewah di dunia. Esensi manusia hanya ditentukan kemudian dari subjektivnya sendiri, apakah dia didunia untuk beribadah atau hanya untuk bekerja dan hidup mewah ada akhirnya.
Oleh karena itu, seorang muslim, patutnya tidak berideologi eksistensialisme. Seorang yang biasanya rasionalis dan nihilis akan mengungkit-ungkit sesuatu yang tidak eksis fisiknya. Seorang yang eksistensialis tidak akan percaya pada yang tidak beruwujud atau ghaib, bisa saya katakan Tuhan. Begitu juga seorang Seyyed Hoessn Nasr juga mengatakan bahwa teori eksistensialis barat dengan wujud Tuhan itu berbeda. Perbedaan ini harus diperhatikan dengan saksama, karena jika seorang muslim mengikuti pandangan eksistensialisme barat, bisa jadi dia tidak akan percaya pada Tuhan yang ghaib. Seyyed Hoessn Nasr dalam premisnya mengatakan bahwa dalam teori eksistensialisme barat, jika esensi suatu itu berubah maka eksistensi itu juga berubah. Dan jika eksistensi itu berubah, maka aksidensi sesuatu itu juga ikut berubah.
Dan ada perbedaan dalam islam, menurut Seyyed Hoessn Nasr dalam teori wujud, jika esensi berubah maka eksistensi itu tidak akab berubah. Kalau dalam bahasa ilmu fiqh, illat suatu hukum mempengaruhi perubahan hukum. Illat saya umpamakan seperti esensi hukum, dan eksistensi seperti adanya hukum itu. Seperti sifat Illat yang mempengaruhi timbulnya hukum, bukan hikmah ayat. Esensi (illat) mempengaruhi eksistensi (hukum) sesuatu itu.  Misalkan dalam ranah ketuhanan, tidak mungkin eksistensi Allah dipertanyakan jika esensi-Nya berubah, dikarenakan esensi Tuhan itu bergantung juga dengan sifat Tuhan itu. Misalkan sifat wahdatul wujud Tuhan, yaitu Tuhan yang satu. Contoh yang lain adalah sifat Tuhan yang tidak butuh dengan makhluknya. Sifat Tuhan inilah yang mengatarkan perubahan esensi Tuhan tidaklah berarti merubah juga eksistensi Tuhan. Meskipun manusia mengubah esensi Tuhan seperti misalnya Tuhan bukanlah sesembahan, hal itu tidak berpengaruh pada eksistensi Tuhan. God still exist in re or in intellecto.
Begitupun tulisan ini, tidaklah penting bagus atau tidak. Tulisan ini tetap eksis meskipun esensi tulisan ini berubah. Begitulah saya memandangnya.


Yogyakarta, 19 April 2015

3 komentar:

  1. urung tak woco mas,, sing penting absen disek yo..
    kapan2 nek wes moco insyaAllah tak laporan maneh haha. .

    BalasHapus
  2. Wes tak woco mas, ,
    Asline materine yo simple nek menurutku, tapi lek nyampekne kok abot tenan eg. .

    BalasHapus
  3. cara penyampaian filsafati mas, ya itulah jurusan saya. atau kosakata yang saya miliki kosakata filsafati, dan metode tulisan filsafat mas. otaknya mbulet-mbulet, hehe tp matursuwun mampir mas

    BalasHapus

 

sederhana Copyright © 2011 - |- Template created by Badrus Soleh - |- Powered by Blogger Templates