Cosmology, theology, anthropology
Bagaimana Tuhan bisa dibela dengan akal?
bagaimana Tuhan dirasionalkan? Apakah Tuhan bisa dicapai dengan akal manusia?
dan Apakah Tuhan itu ada? Pertanyaan-pertanyaan itu sudah umum dikalangan
filsuf. Alam, Tuhan dan manusia adalah objek abadi filsafat sejak abad klasik. Tuhan
menjadi objek filsafat yang telah mengambil banyak perhatian filsuf selain
karena metafisik juga Prima Causa, logosetrisme atau doktrinisasi atau
ontologisasi dan menurut Heidegger harus taken for granted. Amstrong
mengatakan bahwa Tuhan itu bersifat history-anthropologis, dan sifat
seperti itu tidaklah filsafati. Seorang filsuf haruslah berpikir secara radikal
dan mendasar, mecari penyebab sampai dengan akar-akarnya. Menurut Kant sebuah
objek filsafat harus dicari dengan metode a priori yaitu metode yang
mencari dan menelusuri sebab-sebabnya. Begitulah serang filsuf harus bertindak,
meskipun itu adalah masalah teologi.
Filsuf abad klasik sebenarnya sudah membahas
tentang masalah ketuhanan, tetapi kebanyakan pendapat mereka masih kosmologis, sehingga
banyak pendapat filsuf zaman dahulu yang diabaikan. Dalam tulisan ini saya akan
memberikan argumen seorang filsuf abad pertengahan tentang metafisika
ketuhanan. Adalah St. Anselmus, seorang filsuf abad 12 M dan seorang Uskup
Agung Canterbury yang menggagas tentang metafisika Tuhan dan pendapatnya diperhitungkan
dalam perkembangan filsafat metafisika beberapa abad berikutnya sampai dengan
zaman setelah Descartes. Dua karya besarnya yaitu Poslogion dan Monologion,
yaitu buku tentang dialg ketuhannya. Poslogion adalah buku buku
Anselmus tentang ontologi adanya Tuhan. Sedangkan monolog adalah buku tentang
percakapan pribadi Anselmus tentang ketuhanan.
Poslogion
menyuguhkan premis-premis Anselmus dalam perenungannnya tentang metafisika
ketuhanan dan lebih menggunakan teori silogisme untuk menjelaskan Tuhan. Anselmus
mengatakan bahwa untuk mengetahui Tuhan, maka harus beriman terlebih dahulu. Iman
adalah sebab yang pertama untuk mencari kemudian menalar Tuhan. Dalam buku Ian
Logan: Reading Anselm’s Proslogion terbitan Oxford, UK Anselmus
mengatakan:
“and indeed i do not seek to understand, so i
that may believe, but i believe, so that i may understand. for I also believe
this: that unless I believe, I shall not understand”
Dari pengertian ini tentu iman menjadi hal yang paling mendasar sebelum
memahami Tuhan, Videys, quarens, intellectum atau iman, mencari, penalaran.
Beriman, kemudian baru bisa mencari karena jika tidak beriman seseorang tidak
akan mencari dan mengerti atau menalar-Nya. konsep Iman Anselmus adalah percaya
bahwa Tuhan adalah sesuatu yang besar dari pada sesuatu yang tidak dapat
dipikirkan.
“and indeed we believe You to be something than
which nothing greater can be thought”
Artinya kurang lebih “seuatu yang lebih besar daripada sesuatu yang
tidak dapat di pikirkan”. Inilah dialog utama Anselmus sebagai dasaran untuk
menjelaskan Tuhan. Selanjutnya premis Anselmus itu dijelaskan secara rasiona; dengan
silogisme, yang coba saya uraikan sebagaimana berikut:
X = seuatu yang lebih besar daripada sesuatu
yang tidak dapat dipirkan
F
= Fact
Silogisme:
Tuhan = X
X = F
Entimem:
Tuhan = F (Tuhan adalah fakta)
Anselmus memahami Tuhan adalah sesuatu yang lebih besar
daripada sesuatu yang tidak dapat dipikirkan. Seseorang yang sudah memahami Tuhan
pasti sudah beriman, tetapi kemudian pada suatu ketika Anselmus di tanya oleh
seorang Atheis. Dia mengatakan, bahwa Tuhan itu tidak ada. Hal ini tentu saja
bertentangan dengan premis pertama Anselmus yaitu sesuatu yang lebih besar
daripada seuatu yang tidak dapat dipikirkan. Anselmus mengatakan bahwa
pernyataan Atheis itu semakin menguatkan tentang adanya Tuhan, dan hal itu juga
telah mengimplikasikan bahwa Atheis sudah mencoba memikirkan Tuhan, dan dia
tidak menemukan Tuhan karena Tuhan adalah sesuatu yang lebih besar dan tidak
dapat dipikirkan. Semakin memastikan sesuatu yang lebih besar tidak dapat
dipikirkan dan tidak dapat dipahami sendiri, jika sesuatu itu dapat dipahami
sendiri, maka itu bukanlah Tuhan, tetapi jika sebaliknya maka itu sudah
mengimplikasikan bahwa Tuhan ada dalam realitas, yang lebih besar.
Berikut bentuk silogismenya:
X = in tellecto
X = -X
X = ada
dalam relitas
X dalam realitas
> in tellecto
X adalah sesuatu yang lebih besar daripada seuatu itu yang
tidak dapat dipikirkan. X itu dinegasikan tidak ada dalam pikiran atau
pemahaman, berarti X sudah ada dalam realitas. Karena X lebih besar pasti mencakup
apa yang ada dalam realitas dan juga pikiran.
Bentuk negasinya:
jika X adalah bukan F,
maka bukanlah X
X tidak dapat menjadi X
bukan juga X
Entimem: X adalah
F (Tuhan adalah Fakta)
adalah Tuhan tidaklah ada yang lebih baik, ada sendiri dan
dari-Nya Dia meciptakan yang lain.
Anselmus tidak
akan pernah bisa dijamah oleh pikiran secara sistematis, melainkan hanya premis-premis
yang telah mengkotak pikiran sebelumnya. Tulisan ini hanyalah ilmu yang saya
dari kuliah bersama mas Fayyadhl seorang Gus atau Lora (bahasa Madura) alumus universitas
Sorbonne Perancis. Mungkin tulisan ini tidaklah sempurna dalam menjelaskan
argumen Anselmus secara keseluruhan, hanya cuplikan semata. Ada niat saya ingin
menyambung tulisan tentang metafisika tuhan dari filsuf yang lain. Filsafat
tetaplah filsafat seperti kata Mulla Sudra cahaya untuk melihat the ONE dengan
karakteristiknya yang berpikir secara radikal dan mengakar terhadap semua objek
kajiannya.
Yogyakarta, 31 Maret 2015
agak susah mas kalau belum dapat pengantar dari tulisan serius ini.
BalasHapustapi bagus.
iya mas, terimakasih sarannya.
Hapusrodok ra paham mas, , dadak enek huruf X barang je,,
BalasHapusdibaca aja jee hhe
Hapus