Rabu, 28 Oktober 2015

0 Sumpah dengan Sampah





“Tiada hujan. Yang ada hanya angin. Tak kunjung hujan. Debu menyatu dengan angin bergulung seperti ombak di daratan. Menyeruduk seperti banteng bersungut-sungut. Dari kejauhan kulihat tanah mengeluarkan uap fatamorgana, menipu setiap pandangan. Kupaksa kaki mendekat menyaksikan teriakan mereka. Seperti batang jati yang kulitnya pecah dan ingin memuntahkan isinya. Tanah tua coklat yang kering, keriput, jelek. Mengatakan bahwa mereka sudah hidup lama. Jauh berbeda ketika hujan turun. Mereka seperti bisa mengulang waktu. Kembali muda, segar dan cerah. memberikan nyawa mawar untuk tetap harum dan hidup”. Sok puitis pikirku. 

Maklum, bulan ini saya masih ketagihan novel sastra. Kalimat-kalimat lebai itu masih sering berjalan di kepalaku. Sastra, menurutku, hanyalah bualan. Seorang sastrawan adalah pembual. Seorang yang bermuka dua dan pandai mebuat cerita. Apa yang diungkapkan hanyalah kosong belaka. Bertele-tele. Misalnya seperti ungkapan di atas.Kira-kira seperti itulah ungkapan sastra. Padahal saya Cuma ingin mengatakan bahwa Jogja sekarang masih panas. Kemarau panjang, tanah kering kerontang. 

Memang seorang sastrawan itu harus pintar bergaya. Dari kepala; mimik muka, gaya rambut, suara, bentuk muka, bahkan panjang hidung, tebal bibir, bentuk mata, lebar kuping harus bisa diubah. Kemudian bentuk badan; gendut, kekar, kurus, lembek bahkan letak punting juga harus bisa dipindah. Lengan; panjang lengan, otot lengan. Kaki;panjang, serat, berotot, kenthing. Bahkan kelamin sastrawan juga harus bisa dimodel. Hanyalah tipuan.

Semua orang bisa menjadi sastrawan. Dari kecil sampai tua. Dari anak SD apalagi anggota DPR. Buat gaya-gayaan. Biar dikenal orang banyak. Menarik perhatian. Namanya dikenal. Pengen tenar. Saya juga tidak mau kalah. Brikolase. meminjam istilah Hebdige (1979) adalah usaha untuk “merebut ruang” dengan gaya-gaya tersendiri. Semua orang telah ber-brikolase dengan gaya mereka sendiri-sendiri, termasuk saya. Gunain istilah-istilah filsafat cuma buat di akui sebagai anak filsafat.

Fenomena “gaya-gayaan”. Sepanjang bulan oktober saja. Ada banyak peristiwa seperti tanggal 1 Oktober kesaktian Pancasila. 10 Oktober kelahiran HumaniusH (BOM di kampus saya). 22 Oktober Hari Santri Nasional. 28 Oktober Sumpah pemuda. Yang baru-baru ini seperti hari santri jadi ajang gaya-gayaan saja. Tidak lebih. Abis digongin resmi langsung bertebaran aja meme-meme “dari santri untuk negeri”. Emang sampean tahu apa itu santri? Kok berani-beraninya ngaku jadi santri sambil masang foto sok imut trus di up-load. 

Padahal jadi santri itu susah loh. Tau gak gimana susahnya? Dari pagi sebelum subuh udah harus bangun tidak peduli kamu tidur jam berapa, ngapain saja. Kamu harus sholat malam yang awalnya sunah tapi karena kamu ngaku santri, jadi wajib. Habis salat subuh masih harus membaca quran langsung mengaji kitab sampek mentok jam setengah 6 pagi. Kalau kamu kuliah mending, tapi kalau kamu Cuma nyantri, biasanya habis dzuhur kamu harus mengaji sampai jam 2 siang. Habis salat ashar harus musyawarah kitab sampai jam 5. Habis salat maghrib harus ngaji lagi sampai jam 9. Nanti kalau ada kegiatan sampai jam 10 baru bisa istirahat. Masih berani ngaku jadi santri?

Santri dalam tulisan arab melayu terdiri dari 6 konsonan. Siin; nun; ta; ra; ya. Seperti kopi, mereka mempunyai filosofi masing-masing. Misalnya siin berarti saalik ilal akhiroh. Artinya bertindak atau melalui jalan untuk ke akhiroh. Maksudnya santri haruslah bertingkah untuk kepentingan akhirat. Nun adalah naibun ‘anil masyayikh. Artinya pengganti dari Kyai. Santri mempunyai amanah untuk menggatikan Kyai berjalan menegakkan agama islam. Ta yaitu tarkul ma’ashiy, meninggalkan maksiyat. Ra dari raaghibun fil khairaat, menyukai kebaikan. Ya dari yarju salamah fi ad dunya wal akhiroh, mengharapa keselamatan di dunia dan akhirat. Santri ini lebih berat. Pertanyaannya, Apakah kalian sudah berjalan untuk akhirat atau masih tertipu dunia? Apakah sudah siap menjadi pengganti Kyai? Apakah sudah meninggalkan maksiat atau malah langganan? Apakah senang kebaikan apa suka adu domba? Masihkah berani mengaku santri?
Kemudian disusul peringatan sumpah pemuda hari ini. Banyak juga bertebaran meme sumpah pemuda baik di kontak BBM saya atau sosial media yang lain. Tidak kalah banyak juga bertebaran pemuda-pemuda yang tadi memasang DP sumpah pemuda di BBM nya tetapi saya temukan mojok dengan pemudi sudut gedung kuliah. Ada juga yang masih berada di atas kasur tapi DP BBM nya berubah semangat pengabdian isi sumpah pemuda. Ada juga pemuda memasang DP sebelum ujian tapi ketika ujian dia tidak tenang, kepalanya mematuk jawaban-jawaban di kertas orang. Yang paling banyak adalah selfie cewe” yang mengatakan sumpah cantiknya.

Melihat yang terakhir saya jadi lupa apa itu sumpah. Bahkan saya sulit membedakan tulisan sumpah dengan sampah pemuda. Ah, daripada saya naif ikrar sumpah pemuda, mending sumpah cinta saja. “l, sumpah, aku masih cinta kamu”

Yogya, 28 Oktober 2015

0 komentar:

Posting Komentar

 

sederhana Copyright © 2011 - |- Template created by Badrus Soleh - |- Powered by Blogger Templates