Jumat, 07 Agustus 2015

0 Kyai Syare’at dan Kyai Ma’rifat



Blitar, 7 Agustus 2015


Pastinya saya masih sangat kurang ilmu untuk menulis artikel ini, bahkan bisa dikatakan saya kurang ajar telah berani menuliskan pemikiran saya. Sebenarnya saya takut jika dikatakan suul adab sama kyai-kyai karena tulisan ini tidak akan jauh dari nama kyai-kyai sepuh NU. Kyai-kyai yang selalu saya ta’dhimi dan teladani, yang selalu saya harapkan ridhonya guna manfaat dan barokah ilmu saya kelak. Termasuk juga Gus-gus muda NU yang mengambil peran penting dalam kelangsungan NU kedepannya.
 
Sebagai warga Nahdhiyyin, saya merasa terpanggil dengan berbagai gejolak yang terjadi di tubuh NU saat ini. Gejolak yang tidak semua warga nahdhiyyin ketahui. Lubang-lubang kecil yang mulai timbul di salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini bisa berdampak luas bagi kalangan internal organisator, internal NU, bahkan bisa sampai masuk pada warga Nahdhiyyin. Seperti lubang kecil pada gigi yang semakin lama akan membesar wal hasil, lubang kecil itu meruntuhkan kerasnya tulang di mulut.
Bau tidak sedap itu mulai berhembus tajam sebelum muktamar ke-33 NU kemarin. Sepertinya NU ini juga mempunyai musuh, yang muncul dalam bentuk organisasi tandingan. Ya. NU Garis Lurus. Organisasi yang muncul dengan slogan mengembalikan NU ke Timur seperti ajaran pendiri NU. Bahkan di motori oleh kyai-kyai besar yang sudah sangat mahir membaca kitab, mahir, alim bahkan sudah mempunyai pondok pesantren yang sangat berkembang. Dengan latar belakang demikian sebenarnya sangat mudah jika ingin mengembangkan organisasi tandingan ini. 

Di millennium dua yang sudah berteknologi ini orang sudah lebih percaya media. NU Garis Lurus ini sangat gencar meneriakkan pemikiran mereka dengan media. Sudah banyak artikel yang mereka tulis. Namun hal yang “tabu” bagi kalangan Nahdhiyyin saya temukan di beberapa artikel NU Garis Lurus ini. Misalnya sebuah artikel yang mengatakan bahwa Gus Dur bukanlah wali, justru beliau orang yang sedang di laknati oleh Allah SWT. Berbeda 180 derajat dengan paradigma yang ada di warga Nahdhiyyin bahwa Gus Dur adalah waliyullah yang sudah banyak cerita-cerita kewalian beliau bertebaran di kalangan Nahdhiyyin. Justru kalangan “berjenggot” yang biasa berkoar-koar bahwa Gus Dur bukanlah wali. Apakah benar NU Garis Lurus hanyalah topeng?

Ah sudahlah! Aku tidak sesumbar. Namun keutuhan NU adalah kewajiban Nahdhiyyin. Dalam menyikapi lubang kecil yang bisa saja membesar ini tidaklah gampang. Umpamanya NU Garis Lurus ini adalah Kyai syare’at. Dan NU sendiri adalah Kyai hakekat atau ma’rifat. Keduanya sama-sama kyai, tetapi jauh berbeda. Keduanya adalah NU, tapi tidaklah sama. Kyai Syare’at lebih berlandaskan pada tataran tingkat kefaqihan keilmuan dan jago dalam keilmuan islam. Sudah faqih dalam membaca kitab berbahasa arab, meskipun tanpa makna. Kyai Syare’at berjalan dengan kekuatan akal yang kuat. Kyai Ma’rifat berada pada satu tingkat lebih tinggi daripada Kyai Syare’at. Bisa dikatakan Kyai Ma’rifat sudah menguasai apa yang di kuasai Kyai Syare’at ditambah kekuatan batin yang biasanya sudah terhubung langsung dengan Allah. Kasyaf hatinya sudah dibuka oleh Allah, sehingga hati seorang Kyai Ma’rifat itu bersih dari godaan duniawi. Ora kadunyan.

Kyai ma’rifat sudah mengalami perjalanan spiritual sampai pada titik akhir, sehingga banyak dari mereka adalah seorang sufi. Kemantapan hati, komunikasi dengan Allah membuat tindakan mereka di luar batas kewajaran manusia, bahkan tidak jarang melamapui batas syare’at Allah sendiri. Dengan kata lain adalah wali. Sehingga tidak jarang seseorang Kyai Ma’rifat dijuluki “nyleneh” karena perbuatan mereka. Sedangkan Kyai Syare’at kebanyakan tidak mengerti sehingga mencibir bahkan mengolok setiap tindakan Kyai Ma’rifat. Karena tindakan dzohir yang “nyeleneh” sehingga di anggap sudah kafir. Sama-sama Kyai bukan satu makna. Keduanya tidaklah sama. 

Perbedaan itu sudah ada sejak zaman wali songo. Syekh Siti Jenar yang merupakan ahli ma’rifat, berjalan berseberangan dengan wali songo. Latar belakang keduanya yang tidaklah sama menciptakan perseteruan sampai dipancungnya Syekh Siti Jenar. Sampai sekarang perbedaan itu masih tetap berjalan dengan adanya Kyai Syare’at versi NU Garis Lurus dengan Kyai Ma’rifat versi NU sendiri. Keduanya adalah NU, tapi harus bisa menyaring informasi secara detail.

Namun, sebenarnya tantangan baru bagi Nahdhiyyin yang muncul pada masa ini adalah keberadaan teknologi yang memanjakan manusia. Teknologi ini memunculkan efek yang sangat buruk bagi generasi muda Nahdhiyyin, dan sudah banyak terjerumus dengan teknologi dan media. Teknologi ini sebagai topeng yang sering digunakan oleh kelompok lain untuk menyuntikkan pemikiran-pemikiran mereka. Pada generasi saya sudah banyak gus dan ning yang sudah tertipu dengan kecanggihan dan kemudahan teknologi. Sumber islam bukanlah quran hadis, ijma qiyas yang ada di kitab tetapi media-media on-line yang berlabel islam dan belum jelas penulisnya. Lihat (topeng). Sehingga sangat dikhawatirkan jika Nahdhiyyin merosot kefaqihannya dan  ke wara’ annya. 

Kemungkinan sangat besar bisa terjadi pada masa depan hanyalah Kyai Syare’at karena hati mereka sudah tertutupi dengan gemerlap duniawi, hanya pintar dalam syari’at dan tidak pernah menggunakan hati. Pada akhirnya kaum tekstualis yang mudah mengkafir-kafirkan orang yang muncul. Seperti NU tandingan yang muncul, yang hanya berjalan di atas paham kitab-kitab, belum sampai menyentuh hati. Semoga hati kita selalu bisa berdzikir dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun keadaannya. Amiin. (mbs)

0 komentar:

Posting Komentar

 

sederhana Copyright © 2011 - |- Template created by Badrus Soleh - |- Powered by Blogger Templates