Sabtu, 28 Februari 2015

2 Tuhan dan Hamba



Yogyakarta, 24 Februari 2015


 “Terserah Allah meletakkanku di neraka atau surga. Kita tidak berhak menuntut balasan dari-Nya. toh, kebaikan kita pun berasal dari-Nya”. -Kalimat itu masih terngiang di telingaku. Mungkin benar jika Allah sudah menurunkan hidayah maka panca indera yang juga makhluk-Nya akan ikut berdzikir.-
 
Sore itu sayup-sayup suara adzan maghrib dan langit mendung serta bunyi gelegar petir. Dibalik jendela kamar pondok pikiran saya terbang melayang memikirkan ucapan yang diucapkan teman saya setelah diskusi panjang yang kami lakukan. Kesimpulan awal yang saya raih itu total telah merubah mindset saya dan memberikan efek yang cukup signifikan dalam metode beribadah melaksanakan kewajiban Islam yang saya lakukan. Anyway, pemikiran saya dimulai ketika pertanyaan iseng teman tentang pendapat saya jika Allah menaruh saya di Neraka kelak. Pertanyaan yang cukup filsafati. Segera dengan membusungkan dada dan nada menggertak saya jawab akan protes ke Allah. Seperti singa lapar dia bertanya kenapa saya akan protes. Tidak mau kalah. Berbekal ilmu tentang sifat-sifat Allah, saya mencercanya dengan jawaban yang menurut saya mencakupi mengapa saya akan protes kepada Allah. Mulai A sampai Z saya argumentasikan, dari argumen rasionalis sampai tekstualis. Namun ketika saya berhenti mencercanya dengan berbagai argumen, teman saya dengan gampang menjawab: “apa itu semua cukup untuk mengganti nikmat sepasang bola mata itu (menunjuk mata saya)?”. Seperti Big Match el clasico Real Madrid yang terus menggempur pertahanan kokoh Barcelona. Tetapi sekali counter attack pertahanan Real kocar-kacir dan langsung jebol. Saya pun terdiam hening. Hanya suara petir yang memecah keheningan.


Syukur. Ya, saya memang kurang bersyukur. Syukur memang jadi salah satu pinpoint. Tapi mengertilah. Sebenarnya ada pinpoint lain yang ingin saya angkat dalam tulisan ini. Sebuah metode pemikiran yang saya kira cocok untuk menjawab cara berpikir saya yang salah. Berawal dari teman yang menyarankan saya untuk mendengarkan sebuah cerpen. Mengapa cerpen? Apa spesialnya cerpen? Saya bertanya-tanya. Saya ragu benarkah cerpen cukup kuat mengubah cara berpikir manusia, sedangkan cerpen adalah produk pikiran manusia. Seperti kerbau yang dicocok hidung saya pun mengikuti saran teman untuk mendengarkan sebuah cerpen. Cerpen karya dari seorang Budayawan, Sastrawan, Ulama adalah mantan Rais Am PBNU Gus Mus yang berjudul “Gus Ja’far”. Bagi teman-teman yang sudah pernah mendengarkan tentunya sudah paham isi dari cerita perjalanan Gus Ja’far. Namun saya mengutip ungkapan dalam cerpen itu yang menurut saya sangat indah. 


“kau tak kan tau, sebagaiman neraka ,surga... aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia ingin memasukkan diriku ke surga, atau ke Neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke surga atau Neraka sebenarnyalah Ia tidak mempunyai alasan. Dan sebagai kyai apakah kau menjamin dengan amalmu kau pasti masuk surga kelak?atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita dari-Nya. mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. bukankah begitu?”
Oh! Saya sadar ternyata Neraka dan Surga itu juga makhluk Allah. Yang kekadiman atau kemakhlukannya dulu dipermasalahkan oleh mutakalimuun. Mungkin selama ini pikiran saya tertutup akan surga dan kenikmatannya sehingga saya lalai dan beribadah tidak ikhlas karena Allah. Walhasil, landasan berpikir saya “aku bekerja maka aku dapat imbalan” atau dengan kata lain saya beribadah sesuai dengan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya karena pada satu titik akhir saya ingin mendapatkan surga seperti yang Dia janjikan. Seakan terlalaikan bahwa semua amal yang kita kerjakan pun Allah yang merencankan dalam takdir, diridhoi-Nya kemudian baru bisa kita kerjakan. Ternyata konsep berpikir itu salah. Salah total. Bahkan anak TK pun mungkin sudah tahu bahwa semua amal ibadah harus tulus dikerjakan karena Allah.


Namun kemudian timbul pertanyaan yaitu konsep berpikir bagaimana yang tepat dengan “beribadah karena Allah?”. Pertanyaan ini sangat sulit dijawab hingga kali kedua saya mendengarkan cerpen Gus Mus itu. Ada sebuah kalimat menarik yang saya kira itu adalah jawaban atas pertanyaan diatas.
 Untuk memasukkan hamba-Nya ke Surga atau Neraka sebenarnyalah Ia tidak mempunyai alasan”


Gus Mus meletakkan kalimat ini ditengah kalimat penjelasan Kyai Tawakkal mungkin karena inilah yang paling esensial. Adalah makna tersirat yang saya tangkap yang menyeret pikiran saya ke arah sufisme, yaitu makamat-makamat dalam menuju tingkat ma’rifat. Sedikit flashback isi cerpen, dimana Gus Ja’far yang melihat Kyai Tawakkal berjalan diatas air layaknya berjalan diatas tanah datar subur tanpa terpeleset sedikitpun. Karamah wali yang benar melekat kepadanya. Dan juga kebiasaan Kyai Tawakkal yang seperti umumnya Kyai yaitu beribadah wajib dan sunah serta mengaji dan mengisi pengajian umum. Namun tetap saja Gus Ja’far masih melihat tanda di kening Kyai Tawakkal yang bertuliskan Ahlu An-nar. Cerita ini memberikan gambaran bagaimana seorang yang soleh, taat, alim pun tidak ada jaminan untuk surga. Jelas, tidak ada alasan bagi Allah untuk memasukkan hamba-Nya ke Surga atau Neraka.
 
Mungkin benar jika seorang muslim harus memahami ajaran tassawuf. Karena ajaran sufi tidak pernah hanya bersifat rasional, melainkan neoplatonistik. Pasrah dan khauf. Tatanan untuk menghadirkan esensi beribadah karena Allah. Mengapa pasrah? Seorang Kyai Tawakkal yang alim, soleh, taat dan wali pun tidak akan pernah bisa keluar dari kemungkinan dimasukkan ke dalam neraka Allah. Seorang penjaga warung, tidak mengenal agama, sering menggoda pelanggannya pula tidak akan pernah bisa keluar dari kemungkinan dimasukkan ke dalam surga Allah. Bukan masalah surga atau neraka, melainkan pasrah, ridho, ikhlas, lillahi ta’ala, dalam beribadah kepada-Nya. karena Allah Maha Berkehendak, karena tidak ada pengatur selain Dia.


Kedua Khauf atau takut. Takut karena Dia Raja, tidak ada yang bisa dipercaya, tidak ada yang bisa menolong kecuali Allah dan Allah Maha Berkehendak. Takut kepada Allah sebenar-benarnya takut. Takut kepada Allah tidak hanya takut terhadap nama-Nya tetapi “Dzat-Nya”. Mbah Tejo(Sujiwo Tejo) mengibaratkan“saya mencintai pacar saya yang bernama Sarinem. Kemudian dia ganti nama menjadi Angelina. Karena itu saya lagi tidak suka dan akhirnya saya putusin dia”. Dalam hal ini Mbah Tejo mengartikan bahwa subjek “saya” hanya mencintai nama saja, bukan Dzat-Nya. kemudian saya merepresentasikan bahwa Allah ada dimana-mana dengan mengaplikasikan perintah berdzikir kepada Allah. Sekali lagi Mbah Tejo “saya berdzikir kepada Allah dengan memaknai apa yang saya lihat sebagai karunia dari Allah dan ketika melihat langsung mengingat Allah. Contohnya ketika saya mendengarkan orang berbicara maka perkataannya itu adalah representasi untuk langsung mengingat Allah, dalam hati menyebut-Nya”. Saya “melihat” Allah ada dimana-mana. Secara logika jika kita selalu dibuntuti oleh orang pasti kita menjadi takut, sama halnya jika kita bisa “melihat” secara otomatis mengingat Allah dimana-mana, secara psikologi kita akan ketakutan atau khauf. Efeknya, karena kita takut kita akan beribadah hanya karena Allah. Saya kira hubungan Tuhan dan Hamba saling tali-menali, dan Tuhan adalah makhluk-Nya, makhluk-Nya adalah Tuhan. Semua adalah Tuhan. (Mohon pembaca tidak terkotak dengan salah satu paradigma saja)


Mahakarya  (cerpen) ini tentunya sudah melewati pengalaman penulis (Gus Mus). Kata-kata indah dan mudah dipahami yang membungkus ceripen ini serta alur cerita yang tidak monoton menjadikan cerpen ini menarik. Tetapi pada intinya saya dibuat tercengang dan terheran-heran ketika konsep pemikiran saya selama ini salah bahkan lebih jauh ibadah yang saya lakukan mungkin salah. Sekali lagi saya harus mengatakan betapa bodohnya saya. (MBS)

2 komentar:

  1. Terima kasih postingannya gan, bagus. Sebaik-baik manusia adalah yang melakukan kesalahan tetapi mengakui kalau dia itu memang salah (HR. Didin) hahah, , ,

    BalasHapus

 

sederhana Copyright © 2011 - |- Template created by Badrus Soleh - |- Powered by Blogger Templates