Yogyakarta, 24 Februari 2015
“Terserah Allah meletakkanku di neraka atau
surga. Kita tidak berhak menuntut balasan dari-Nya. toh, kebaikan kita pun
berasal dari-Nya”. -Kalimat itu masih terngiang di telingaku.
Mungkin benar jika Allah sudah menurunkan hidayah maka panca indera yang
juga makhluk-Nya akan ikut berdzikir.-
Sore itu sayup-sayup suara
adzan maghrib dan langit mendung serta bunyi gelegar petir. Dibalik jendela
kamar pondok pikiran saya terbang melayang memikirkan ucapan yang diucapkan
teman saya setelah diskusi panjang yang kami lakukan. Kesimpulan awal yang saya
raih itu total telah merubah mindset saya dan memberikan efek yang cukup
signifikan dalam metode beribadah melaksanakan kewajiban Islam yang saya
lakukan. Anyway, pemikiran saya dimulai ketika pertanyaan iseng teman
tentang pendapat saya jika Allah menaruh saya di Neraka kelak. Pertanyaan yang
cukup filsafati. Segera dengan membusungkan dada dan nada menggertak saya jawab
akan protes ke Allah. Seperti singa lapar dia bertanya kenapa saya akan protes.
Tidak mau kalah. Berbekal ilmu tentang sifat-sifat Allah, saya mencercanya
dengan jawaban yang menurut saya mencakupi mengapa saya akan protes kepada
Allah. Mulai A sampai Z saya argumentasikan, dari argumen rasionalis sampai
tekstualis. Namun ketika saya berhenti mencercanya dengan berbagai argumen,
teman saya dengan gampang menjawab: “apa itu semua cukup untuk mengganti nikmat
sepasang bola mata itu (menunjuk mata saya)?”. Seperti Big Match el clasico Real
Madrid yang terus menggempur pertahanan kokoh Barcelona. Tetapi sekali counter
attack pertahanan Real kocar-kacir dan langsung jebol. Saya pun terdiam
hening. Hanya suara petir yang memecah keheningan.
Syukur. Ya, saya memang
kurang bersyukur. Syukur memang jadi salah satu pinpoint. Tapi mengertilah.
Sebenarnya ada pinpoint lain yang ingin saya angkat dalam tulisan ini. Sebuah
metode pemikiran yang saya kira cocok untuk menjawab cara berpikir saya yang salah.
Berawal dari teman yang menyarankan saya untuk mendengarkan sebuah cerpen.
Mengapa cerpen? Apa spesialnya cerpen? Saya bertanya-tanya. Saya ragu benarkah
cerpen cukup kuat mengubah cara berpikir manusia, sedangkan cerpen adalah
produk pikiran manusia. Seperti kerbau yang dicocok hidung saya pun mengikuti
saran teman untuk mendengarkan sebuah cerpen. Cerpen karya dari seorang
Budayawan, Sastrawan, Ulama adalah mantan Rais Am PBNU Gus Mus yang berjudul “Gus
Ja’far”. Bagi teman-teman yang sudah pernah mendengarkan tentunya sudah paham
isi dari cerita perjalanan Gus Ja’far. Namun saya mengutip ungkapan dalam
cerpen itu yang menurut saya sangat indah.
“kau
tak kan tau, sebagaiman neraka ,surga... aku adalah milik Allah. Maka terserah
kehendak-Nya, apakah Ia ingin memasukkan diriku ke surga, atau ke Neraka. Untuk
memasukkan hamba-Nya ke surga atau Neraka sebenarnyalah Ia tidak mempunyai
alasan. Dan sebagai kyai apakah kau menjamin dengan amalmu kau pasti masuk
surga kelak?atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi
kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita
ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita
tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita dari-Nya. mengapa? Karena kebaikan
kita pun berasal dari-Nya. bukankah begitu?”
Oh! Saya sadar ternyata Neraka
dan Surga itu juga makhluk Allah. Yang kekadiman atau kemakhlukannya dulu
dipermasalahkan oleh mutakalimuun. Mungkin selama ini pikiran saya
tertutup akan surga dan kenikmatannya sehingga saya lalai dan beribadah tidak
ikhlas karena Allah. Walhasil, landasan berpikir saya “aku bekerja maka aku
dapat imbalan” atau dengan kata lain saya beribadah sesuai dengan perintah-perintah-Nya
dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya karena pada satu titik akhir saya ingin
mendapatkan surga seperti yang Dia janjikan. Seakan terlalaikan bahwa semua
amal yang kita kerjakan pun Allah yang merencankan dalam takdir, diridhoi-Nya
kemudian baru bisa kita kerjakan. Ternyata konsep berpikir itu salah. Salah total.
Bahkan anak TK pun mungkin sudah tahu bahwa semua amal ibadah harus tulus
dikerjakan karena Allah.
Namun kemudian timbul
pertanyaan yaitu konsep berpikir bagaimana yang tepat dengan “beribadah karena
Allah?”. Pertanyaan ini sangat sulit dijawab hingga kali kedua saya
mendengarkan cerpen Gus Mus itu. Ada sebuah kalimat menarik yang saya kira itu
adalah jawaban atas pertanyaan diatas.
“Untuk memasukkan hamba-Nya ke Surga atau
Neraka sebenarnyalah Ia tidak mempunyai alasan”
Gus Mus meletakkan kalimat ini
ditengah kalimat penjelasan Kyai Tawakkal mungkin karena inilah yang paling
esensial. Adalah makna tersirat yang saya tangkap yang menyeret pikiran saya ke
arah sufisme, yaitu makamat-makamat dalam menuju tingkat ma’rifat. Sedikit
flashback isi cerpen, dimana Gus Ja’far yang melihat Kyai Tawakkal
berjalan diatas air layaknya berjalan diatas tanah datar subur tanpa terpeleset
sedikitpun. Karamah wali yang benar melekat kepadanya. Dan juga kebiasaan Kyai
Tawakkal yang seperti umumnya Kyai yaitu beribadah wajib dan sunah serta
mengaji dan mengisi pengajian umum. Namun tetap saja Gus Ja’far masih melihat
tanda di kening Kyai Tawakkal yang bertuliskan Ahlu An-nar. Cerita ini
memberikan gambaran bagaimana seorang yang soleh, taat, alim pun tidak ada
jaminan untuk surga. Jelas, tidak ada alasan bagi Allah untuk memasukkan
hamba-Nya ke Surga atau Neraka.
Mungkin benar jika seorang
muslim harus memahami ajaran tassawuf. Karena ajaran sufi tidak pernah hanya
bersifat rasional, melainkan neoplatonistik. Pasrah dan khauf. Tatanan untuk menghadirkan
esensi beribadah karena Allah. Mengapa pasrah? Seorang Kyai Tawakkal yang alim,
soleh, taat dan wali pun tidak akan pernah bisa keluar dari kemungkinan
dimasukkan ke dalam neraka Allah. Seorang penjaga warung, tidak mengenal agama,
sering menggoda pelanggannya pula tidak akan pernah bisa keluar dari
kemungkinan dimasukkan ke dalam surga Allah. Bukan masalah surga atau neraka,
melainkan pasrah, ridho, ikhlas, lillahi ta’ala, dalam beribadah kepada-Nya.
karena Allah Maha Berkehendak, karena tidak ada pengatur selain Dia.
Kedua Khauf atau takut. Takut
karena Dia Raja, tidak ada yang bisa dipercaya, tidak ada yang bisa menolong
kecuali Allah dan Allah Maha Berkehendak. Takut kepada Allah sebenar-benarnya
takut. Takut kepada Allah tidak hanya takut terhadap nama-Nya tetapi
“Dzat-Nya”. Mbah Tejo(Sujiwo Tejo) mengibaratkan“saya mencintai pacar saya
yang bernama Sarinem. Kemudian dia ganti nama menjadi Angelina. Karena itu saya
lagi tidak suka dan akhirnya saya putusin dia”. Dalam hal ini Mbah Tejo
mengartikan bahwa subjek “saya” hanya mencintai nama saja, bukan Dzat-Nya. kemudian
saya merepresentasikan bahwa Allah ada dimana-mana dengan mengaplikasikan
perintah berdzikir kepada Allah. Sekali lagi Mbah Tejo “saya berdzikir
kepada Allah dengan memaknai apa yang saya lihat sebagai karunia dari Allah dan
ketika melihat langsung mengingat Allah. Contohnya ketika saya mendengarkan
orang berbicara maka perkataannya itu adalah representasi untuk langsung mengingat
Allah, dalam hati menyebut-Nya”. Saya “melihat” Allah ada dimana-mana.
Secara logika jika kita selalu dibuntuti oleh orang pasti kita menjadi takut,
sama halnya jika kita bisa “melihat” secara otomatis mengingat Allah
dimana-mana, secara psikologi kita akan ketakutan atau khauf. Efeknya, karena
kita takut kita akan beribadah hanya karena Allah. Saya kira hubungan Tuhan dan
Hamba saling tali-menali, dan Tuhan adalah makhluk-Nya, makhluk-Nya adalah
Tuhan. Semua adalah Tuhan. (Mohon pembaca tidak terkotak dengan salah satu
paradigma saja)
Mahakarya (cerpen) ini tentunya sudah melewati
pengalaman penulis (Gus Mus). Kata-kata indah dan mudah dipahami yang
membungkus ceripen ini serta alur cerita yang tidak monoton menjadikan cerpen
ini menarik. Tetapi pada intinya saya dibuat tercengang dan terheran-heran
ketika konsep pemikiran saya selama ini salah bahkan lebih jauh ibadah yang
saya lakukan mungkin salah. Sekali lagi saya harus mengatakan betapa bodohnya
saya. (MBS)
Terima kasih postingannya gan, bagus. Sebaik-baik manusia adalah yang melakukan kesalahan tetapi mengakui kalau dia itu memang salah (HR. Didin) hahah, , ,
BalasHapushahaha, cukup menghibur gan
Hapus