Yogyakarta, 19 februari 2015.
“islam sulit dengan teori, tetapi mudah jika sudah mencoba”. Pernyataan
ini adalah kesimpulan pemahaman saya mengenai islam yang kemungkinan besar ada
pemahaman lain yang mendekati kebenaran. sebenarnya tulisan saya ini tidak jauh
dari pengalaman yang telah saya dapatkan ketika saya tidak sengaja membaca
essay Emha Ainun Nadjib dan juga pengajian bersama beliau kemaren malam.
Pemikiran awal saya bermula
ketika Cak Nun menuliskan “Bahkan islam tidak sama dengan tafsir Islam”-Islamic
Valentine Day. “lho? Apa benar?” Memang benar kata-kata seorang Emha itu bersifat
metafor, perlu pemikiran lanjut untuk memahaminya. Pertanyaan itu yang kemudian
muncul dalam pikiran saya. mungkin benar jika pemahaman saya masih terlalu
dangkal tentang islam, bahkan bisa dikatakan jika saya bukanlah muslim, tetapi
meh-muslim. Ya, kemudian apakah islam itu? Apakah islam hanya sekedar memakai kopyah
atau sarung? Apakah islam harus memakai celana yang tidak sampai menutupi
“mata” di kaki? Apakah islam itu hanya cukup mengucapkan syahadah? Apakah
islam “cukup” dengan membawa bom? Apakah islam cukup berjenggot? Rententan
pertanyaan itu seakan menelanjangi pikiran. Bahkan saya sampai malu bahwa saya
belum memahami apa itu islam, sedangkan saya 18 tahun duduk dan berkutat dengan
keluarga islam.
Kebingungan saya sebenarnya juga
telah di jawab oleh Cak Nun dalam “Islamic Valentine Day”nya. kalimat yang
cukup menarik, “islam itu subtansi nilai, juga metodologi”. Satu jawaban saya
dapatkan, berarti islam itu mempunyai
nilai-nilai sendiri. Saya pribadi setuju dengan pernyataan ini. semua
pertanyaan saya diatas diruntuhkan dengan kalimat ini. islam itu memang
mempunyai nilai, banyak orang mengaku islam tetapi tidak mengamalkan
nilai-nilai dalam islam. Islam juga bersifat inklusif yang menerima berbagai
ilmu-ilmu modern guna mencapai arti islam yang sebenarnya. Bahkan islam lughotan
atau ishtilahan saya anggap membodohkan, karena muslim sebenarnya
haruslah memahami nilai-nilai islam daripada arti tekstualnya saja.
jaman ini banyak pemeluk islam
memperjuangkan tafsir islam mereka, bukan islamnya. Namun substnasi yang
terpenting yaitu nilai-nilai islam justru hilang tidak masuk dalam
kurikulumnya. Mereka mengajarkan teori bagaiamana karakter islam, bagaimana
teori islam Sunni, Syi’i, NU, Muhammadiyah, Persis, Wahabi, Hizbut Tahrir dll,
bukan cara atau metodologi berpikir dalam memahami islam. Mereka mengklaim
kebenaran cara pandang mereka terhadap islam. Saya jadi teringat perkataan
Sabrang-noe “letto”- kemarin. Dia mengumpamakan bahwa islam itu seperti bunga
dan ada sepuluh orang yang melihatnya. Kesepuluh orang itu mengatakan bahwa
bunga itu indah, tetapi kita tidak tahu orientasi keindahan setiap orang pasti
berbeda-beda. Semua mengklaim indah, sehingga arti keindahan itu sendiri pudar,
ngeblur, hilang. Okey, jadi islam yang sebenar-benarnya islam hanyalah
islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah.
Saya kemudian memahami bahwa
manusia hanyalah berusaha untuk
mendekati atau mencapai makna islam seperti yang dimaksudkan oleh Allah.
Sekarang bukan jamannya orang yang mengaku muslim “ngotot” menyalahkan orang
lain atau mengkafirkan orang lain karena sejatinya seorang muslim tidaklah tahu
apakah tafsir islam yang “muslim” pahami sudah mendekati islam yang dimaksudkan
oleh Allah atau tidak. Saya kemudian mengambil kesimpulan lebih baik kita
mencoba melakukan substansi nilai yang terkandung dalam islam terlepas ta’asshub
terhadap oraganisai keagamaan. Mengajarkan nilai-nilai islam lebih utama
daripada sekedar teori keislaman. Mungkin dengan mencoba mengamalkan
nilai-nilai islam orang akan mengetahui substansi islam yang benar. mungkin
benar jika seseorang harus berpola pikir a la sufi dulu guna menjadi seorang
muslim. Tetapi pada akhirnya saya sendiri curiga bahwa saya bukanlah seorang
muslim. (MBS)
semoga kita di akui sebagai umatnya nabi muhammad ya mas. . .
BalasHapusamiiiinn...
BalasHapusEYD nya loh drus hehe :D
BalasHapushehe maaf ndak sempet ngedit..
Hapus